IMMAWATI PROGRESIF REVOLUSIONER
~I_Makkacici'~
“Seorang
perempuan yang berfikir, akan mampu mengubah padang pasir menjadi kebun yang
indah”
A.
NAPAK TILAS SEJARAH PERGERAKAN PEREMPUAN
Berbagai peristiwa penting terkait
perempuan selalu menjadi topik hangat untuk diperbincangkan. Yah, di mediapun
demikian. Perempuan selalu menjadi trending
topic disetiap waktu dengan berbagai pemberitaan, mulai dari yang buruk
hingga yang menginspirasi. Peristiwa di dunia ini tak pernah sepi dari peran
seorang perempuan. Peran yang membawa manfaat
maupun merugikan orang banyak. Setiap perempuan memiliki kesempatan dan
kebebasan untuk memilih peran yang mulia demi menjalankan kehidupan yang
bermanfaat bagi orang lain. Begitupun sebaliknya. Fakta telah banyak
menunjukkan, jutaan perempuan pernah hidup sebagai tokoh utama perjalanan
peradaban manusia. Sejak Sitti Hawa sampe R.A Kartini, dari Ratu Bilqis sampai
ratu-ratu rumah tangga, ibu-ibu kita. Beliau semua adalah perempuan yang telah
menjadi istimewa dengan beragam warna kehidupan yang ditorehkannya.
Setelah kebangkitan nasional,
perjuangan kaum perempuan semakin terorganisir. Seiring dengan terbentuknya
berbagai organisasi. Isu perjuangannya adalah pendidikan
dan usaha penghapusan perdagangan perempuan. Sejak saat itu, organisasi
perempuan semakin berkembang ditandai dengan semakin banyaknya jenis gerakan
yang mampu membuka wawasan perempuan melampaui lingkup rumah tangga dan
keluarga. Politik dan agamapun menjadi pokok perhatiannya.
Napak
tilas sejarah pergerakan perempuan yang telah banyak melahirkan tokoh-tokoh
nasional inspiratif. Seperti Cut Nyak Dien, yang telah terlibat dalam perjuangan
bersenjata melawan penjajah. Ia mengabdikan jiwa dan raganya untuk kemerdekaan
indonesia hingga akhir hayatnya. Malahayati, yang tak jauh berbeda dengan Cut
Nyak Dien. Ia seorang tokoh perempuan yang tercatat dalam sejarah pernah
memimpin 2000 pasukan perang yang terdiri janda-janda para pahlawan yang tewas
di medan juang. Alhasil berkat perjuangannya, ia berhasil membunuh Cornelius De
Houtman (seorang panglima perang belanda). Tak ketinggalan, R.A Kartini, sang
pelopor dan pejuang pendidikan untuk kaum perempuan. Berkat jasanya, perempuan
sampai hari ini mendapatkan kemerdekaannya untuk meraih pendidikan setingginya,
serta membuka peluang dalam pekerjaan dan karir di dunia politik praktis.
Berkaca
dari sejarah, immawati hari inipun harus mampu menjadi agent of change dan menjadi patron gerakan sosial kemasyarakatan
diberbagai sendi kehidupan, sebagai wujud aplikasi dan implementasi trilogi
gerakan IMM yakni kemasyarakatan (humanitas). Peran immawati yang cenderung
pada gerakan kemanusiaan justru akan semakin menunjukkan progresifitas immawati
sebagai mahluk sosial. Rasulullah SAW besabda :
"Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat
bagi sesamanya." (HR. Bukhari).
Immawati harus mampu memberikan sumbangsi
kongkrit melalui prestasinya sebagai aktivis perempuan dengan menghibahkan diri
untuk berbagi ilmu, tenaga, fikiran dan lain-lain. Selama usia masih
muda, kesempatan emas terbuka. Immawati harus mampu mengeluarkan energinya
untuk berkreasi demi kemaslahatan persyarikatan, ummat dan bangsanya.
B.
REFLEKSI GERAKAN IMMAWATI (I)
Islam adalah sistem kehidupan (system of life) yg menghantarkan manusia untuk memahami realitas
kehidupan. Islam juga merupakan tatanan global yang diturunkan Allah sebagai “rahmatan lil alamin”. Merupakan sebuah
konsekwensi logis, apabila Allah SWT menciptakan seorang laki-laki maupun
perempuan yang memiliki misi sebagai “khalifatullah
fil ardh”. Kreasi atas laki-laki dan perempuan itu bertujuan untuk
menyelamatkan dan memakmurkan alam. Dengan demikian, sebagaimana halnya
laki-laki, perempuan dalam islam memiliki peran yang komprehensif dalam
menempati posisi yang sejajar dengan laki-laki. Tanpa menafikkan kodratnya
masing-masing. Perempuan yang tadinya dimitoskan sebagai pelengkap
keinginan laki-laki tiba-tiba setara di hadapan Allah SWT dan mempunyai hak yang
sama sebagai penghuni surga. Meskipun perlahan, tradisi yang mengesampingkan
kaum perempuan kian terkikis.
Berangkat dari hal itu, kaum perempuan memperoleh
kemerdekaan dan suasana batin yg cerah, rasa percaya diri semakin kuat sehingga
mampu mencatat prestasi gemilang bukan hanya dalam sektor domestik, juga sangat
strategis di sektor publik dalam memperbaiki masyarakat, bangsa bahkan
negara.
Persepsi tentang perempuan hari ini yang masih tertanam
dalam mindset berfikir masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan amat susah
untuk diubah. Perempuan adalah orang kelas dua yang seharusnya tinggal di rumah
dan dinina bobokkan dengan consumer
culture, hedonisme dan cengkraman kapitalisme. Perempuan tidak sepatutnya
bergelut di dunia politik yang penuh dengan kekerasan dan permainan kekuasaan.
Perempuan dinilai tidak mampu memimpin dan membuat kebijakan. Hal itu
didasarkan karena perempuan amat mengutamakan perasaan sehingga jauh dari sikap
rasional. Perempuan dipandang sebagai pemicu hubungan seksual terlarang,
kehadiran mereka adalah sumber godaan (fitnah) dan memotivasi konflik sosial.
Tugas perempuan hanyalah sebatas dapur, ranjang dan boneka kamar yang hanya
dijadikan sebagai pelengkap keinginan laki-laki. Sehingga perempuan sangat
diragukan dalam memimpin.
Dalam sebuah hadits disebutkan "tidak akan berhasil suatu bangsa yang menyerahkan urusannya pada
perempuan." (HR. Bukhari). Hadits ini dipahami sebagai isyarat bahwa
perempuan tidak boleh menjadi pemimpin dalam urusan yang mutlak seperti kepala
negara. Oleh karena itu, Al-Kattabi mengatakan bahwa seorang perempuan tidak
boleh menjadi khalifah. Demikian juga Al-Shaukani menafsirkan hadits ini dan
berkata bahwa perempuan tidak boleh menjadi kepala negara. Sementara itu para
ulama lainnya seperti Ibnu Hazm, Al-Gazali, Kamal Ibn Abi Syarif meskipun dengan
alasan yang berbeda juga mensyaratkan bahwa laki-laki sebagai kepala
negara.
Partisipasi politik perempuan. Menteri perberdayaan
perempuan tahun 2012 mengungkapkan bahwa tingkat partisipasi perempuan dalam
sebuah organisasi tidak lebih dari 20% dari jumlah seluruh aktivis organisasi
yang ada. Dalam sebuah kepemimpinan, tingkat presentase rata-rata, perempuan
hanya menduduki posisi kurang strategis seperti bendahara atau bidang
keperempuanan. Sementara dalam kepanitiaanpun demikian. Rata-rata perempuan
hanya ditempatkan pada seksi konsumsi atau administrasi. Hanya sebagian kecil
yang berada ditampuk pimpinan tertinggi.
Padahal
jika dikaji secara mendalam, perempuan adalah mahluk Tuhan juga seperti
laki-laki. Sebagai hambaNya, ia juga memiliki tanggungjawab kemanusiaan,
memakmurkan bumi dan mensejahterahkan manusia. Perempuan untuk tugas-tugas itu
tidak dibedakan dengan laki-laki. Allah azza wajallah memberikan kepada
laki-laki dan perempuan, potensi atau kemampuan
untuk bertindak secara otonom yang diperlukan dalam menunaikan amanahnya.
Partisipasi keduanya menjangkau seluruh dimensi kehidupan. Islam telah
memberikan ruang pilihan bagi perempuan juga laki-laki untuk menjalani
peran-peran politik publik, untuk menjadi cerdas dan terampil.
Sejar kenabian mencatat sejumlah perempuan yang ikut memainkan
peran-peran ini bersama kaum laki-laki. Khadijah, Aisyah, Ummu Salamah dan para
istri nabi yang lain, Fatimah (anak) dan Zainab (cucu) adalah
perempuan-perempuan terkemuka dan cerdas. Mereka sering terlibat dalam
diskusi-diskusi tentang tema sosial politik bahkan mengkritik kebijakan publik
yg patriarkis. Ini menandakan bahwa kehadiran perempuan turut memperkuat
barisan langkah kaum laki-laki. Mungkin saja kecerdasan kaum laki-laki di ranah
politik semakin sempurna dikarenakan kehadiran kaum perempuan yang memotivasi
di dalamnya.
Dalam konteks keindonesiaan Undang-Undang Parpol No. 2 tahun
2011 telah memberikan kuota 30% kepada kaum perempuan untuk menduduki jabatan
politik di parlemen. Ini merupakan sebuah peluang bahkan tantangan bagi kaum perempuan
untuk mengambil peran dalam pengambilan kebijakan. Adanya undang-undang
tersebut tentu semakin menggugah semangat aktivis maupun akademisi perempuan
untuk bertarung di ranah politik. Sebuah apresiasi yang sangat luar biasa bahwa
perempuan hari ini dapat diperhitungkan dalam masalah kenegaraan. Oleh karena
itu, tidak kalah pentingnya jika kader-kader IMM hari ini juga mampu bersaing
dalam moment-moment politik. Moment politik bukan hanya pada tingkatan kepala
daerah atau legislatif. Akan tetapi moment politik yang dimaksud adalah dimana kader-kader
IMM khususnya immawati, kemudian mampu mengambil jabatan-jabatan strategis
diberbagai level kepemimpinan organisasi. Terutama di IMM. Immawati harus mampu
menempatkan dirinya pada posisi yang strategis dan tetap menjadi role model
kepemimpinan yang progresif revolusioner.
Sang Merah adalah organisasi dakwah, yang menuntut kita
untuk menaati segala aturan dalam islam sesuai al-qur'an dan as-sunnah demi
mencapai tujuannya yakni "mengusahakan terbentuknya akademisi islam yang
berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah". Namun
terkadang kita lupa, bahwa Sang Merah juga merupakan organisasi pergerakan
mahasiswa, dan sebagai kader dalam organisasi tersebut, kita mengemban amanah
untuk melaksanakan peran/fungsi mahasiswa sebagai agent of change, social of control dan moral force.
Realita hari ini, kader-kader Sang Merah, khususnya immawati
banyak yang tidak memahami eksistensi pergerakan mahasiswa. Mereka terlalu
pragmatis jika berbicara gerakan. Contoh kecilnya, penulis pernah bertanya
kepada salah seorang immawati yang jenjang kekaderannya bukan lagi pada tataran
DAD. Pertanyaannya sederhana, apa itu gender? Pertanyaan itupun dijawabnya, "gender is seks". Persoalan
gender sudah menjadi perbincangan hangat, bahkan sudah tuntas dikaji oleh OKP
lain. Sementara di immawati masih banyak yang tidak paham akan hal itu. Hal ini
terjadi karena pragmatisme bahkan antipati immawati terhadap kajian-kajian yang
demikian. Jika immawati masih “cuek”
melihat persoalan ini, maka yakin dan percaya, immawati akan tertinggal dengan
OKP lain. Bukannya ingin menafikkan bahwa kajian fiqih/adabul mar'ah/akhlak itu
memang sangat penting untuk dikaji dan dituntaskan. Namun jika tidak diimbangi
dengan kajian pergerakan, khususnya immawati maka kita hanya akan berjalan di
tempat saja sementara OKP lain, mungkin sudah berjalan maju mendahului
kita.
Immawati juga harus tampil sebagai kader-kader yang memahami
strategi gerakan kemahasiswaan maupun kelembagaan dan gerakan perempuan. Mindset berfikir immawati harus
diinstal, karena masalah gerakan bukan hanya perbincangan para immawan,
immawatipun harus turut andil di dalamnya.
IMM bukanlah organisasi yang stagnut dan hanya eksis di internalnya saja. Akan tetapi IMMpun
harus menunjukkan eksistensinya dihadapan OKP lain. Jika para perempuan di HTI
telah mengkaji dan memahami perbandingan khilafah dan demokrasi, mengapa
immawati tidak? Jika kohati di HMI, tuntas pada kajian pluralisme, liberalisme,
gender dan lain-lain, mengapa immawati tidak? Bukankah kita adalah organisasi
gerakan juga! Jika hari ini kita sebagai immawati tidak paham persoalan
tersebut, apa yang akan kita jelaskan jika suatu saat kita dipertemukan dalam
sebuah forum debat dengan aktivis perempuan dari OKP lain? Argumen apa yang
akan kita sampaikan, sementara referensi kita masih sangat minim? Lalu, bagaimana
caranya agar IMM dapat menunjukkan eksistensinya dihadapan OKP lain? Marilah
kita renungkan bersama wahai para immawati.
Di suatu kesempatan penting, penulis pernah diajak oleh
beberapa kakanda dalam diskusi di sebuah warkop dekat kampus. Inilah kali
pertama penulis duduk bersama dengan petinggi-petinggi lembaga dari OKP lain.
Kami duduk bersama dan membentuk forum diskusi santai, membincang kasuistik
yang terjadi di negara kita saat itu. PMII, PPI, HMI, KAMMI, IMM dan beberapa
organda, mereka saling berdebat dan melontarkan argumen-argumennya. Diantara
pembicara tersebut, yang mendominasi perbincangan adalah IMM, karena mereka
memahami strategi gerakan dan mampu memberi ide kreatif terkait problem yang
terjadi. Setelah acara selesai, penulispun mendapat nasehat bahwa dalam
berorganisasi, kapan dan dimanapun kita berada. Kita harus selalu tampil dan
mengharumkan organisasi kita, agar organisasi yang kita geluti juga diperhitungkan
oleh OKP lain.
Mengapa jika berbicara aksi demonstrasi atau orasi di
jalanan, fikiran kita langsung tertuju kepada fakultas sospol saja? Bukankah
kita adalah IMM? Immawan/immawati tidak boleh memetakan persoalan gerakan hanya
karena memandang latar belakang fakultas/komisariatnya. Mindset inilah yang harus diubah dari sekarang. Khususnya di internal
immawati, sudah saatnya immawati menampakkan tajihnya bukan hanya di internal
tapi juga di eksternal IMM. Sudah waktunya immawati membekali dirinya dengan
keberanian berbicara/berargumen bukan hanya di forum, juga di jalan.
Rasa tidak percaya diri yang dimiliki immawati, terlebih
lagi jika berbicara gerakan mahasiswa atau lembaga ini terjadi karena kurangnya
bekal dan referensi tentang hal tersebut. Terlebih lagi memang tidak ada
ketertarikan maupun keinginan untuk mengetahui apalagi mendalami ilmu tentang
strategi gerakan-gerakan perempuan, karena hal itu dianggap tidak penting dan
hanya perlu dipahami oleh orang-orang tertentu. Misalnya saja, saya ini belajar
di fakultas kesehatan, buat apa saya mendalami ilmu tentang pergerakan? Toh,
tidak nyambung juga dengan fakultas saya!".
Paradigma inilah yang menghalangi immawati dalam melakukan
gerakan-gerakan yang progresif. Berbicara organisasi, berbicara IMM, kita tidak
hanya berbicara fakultas/komisariat saja. Terdapat hal yang amat penting untuk
dipahami di luar komisariat kita. Terlebih lagi upaya untuk mengharumkan
organisasi yang kita cintai di luar sana.
Slogan
"immawati untuk bangsa" mustahil terealisasi , jika hari ini immawati
masih berfikir pragmatis dan tak mau merespon issue-issue kekinian dan
melakukan gerakan perubahan terutama dalam mindset
mereka. Saat ini, kader-kader IMM telah diunggulkan oleh OKP lain dari segi
praktek spiritualnya. Sayangnya, dari segi intelektual tidaklah demikian. Oleh karena itu, sebagai immawati kita harus lebih
membudayakan membaca dan memperbanyak kajian pergerakan sebagai upaya untuk
menyeimbangkan kajian spiritual dan intelektual. Bukan hanya kader sospol yang
harus dipahamkan tentang pergerakan. Secara universal, immawati dengan latar
belakang fakultas non-sosialpun harus memahami itu, karena kita adalah IMM. Pun
jika diantara immawati banyak yang tidak mau mengaplikasikan atau mengajarkan
ilmunya, minimal mereka tahu, ketika ditanya perihal tersebut.
Marilah kita merefleksi kembali, kekurangan-kekurangan yang
ada dalam diri immawati, memperbanyak referensi dengan membaca dan membudayakan
berdiskusi. Dengan jalan itu kita akan mendapatkan ilmu-ilmu baru sekaligus
membuka jendela dunia dan melihatnya secara universal. Penulis meyakini,
semangat membara itu kini ada digenggaman para immawati. Janganlah membuat Sang
Merah menundukkan pandangannnya akibat malu dengan rendahnya kapasitas keilmuan
yang immawati miliki, terutama terkait pergerakan tersebut. Sebaliknya, buatlah
Sang Merah bangga karena memiliki immawati-immawati yang mampu mengharumkan
namanya sampai ke pelosok negeri.
D. REAKTUALISASI
TRI KOMPETENSI IMMAWATI
Kebesaran ikatan,
bukan karena kita terus memuja dan membendung pikiran kritis. Tetapi, justru
karena keberanian kader-kadernya untuk berdialektika secara kritis dengan
realitas yang terus berubah. Logika sejarah harus dibangun secara simultan
dengan agenda perubahan zaman. Kader-kader IMM harus mampu melahirkan gagasan
tentang rasionalisasi dan modernisasi dakwah di
zaman sekarang. Ritual perjuangan IMM harus tetap menjadi spirit, agar
intelektualitas tetap tumbuh dan menghasilkan kreativitas. Oleh karena itu,
immawatipun harus mampu merumuskan formulasi gerakan ikatan dengan berfokus
pada konsep trilogi gerakan sebagai landasan berfikir.
1. Intelektual
Immawati harus memiliki pengetahuan yang luas sehingga,
ketika diperhadapkan dengan organisasi lain maka ia mampu beradu wacana.
Immawati harus terbuka terhadap pengetahuan-pengetahuan baru, sehingga tercipta
kaum intelektual yang selalu bergerak dengan agenda perubahan dan pembaharuan.
Selain itu, dasar intelektual immawati harus dibangun dalam bingkai leadership
dan praksis sosial yang nyata dengan upaya yang tersistematis dan terstruktur.
Bukan sekedar melanjutkan ide-ide lama melainkan harus diimbangi dengan
kemampuan mendesain sistematika berfikir immawati.
2. Spiritual.
Immawati diharapkan mampu menanamkan nilai-nilai religius
yang implementasinya dalam bentuk aplikasi yakni beribadah kepada Allah SWT dan
beri'tiba kepada Rasulullah SAW dalam kehidupan sehari-hari. Zaman yang semakin
berkembang menuntut immawati agar mampu mengadopsi pengetahuan-pengetahuan baru
untuk dikolaborasikan dengan nilai-nilai yang dianut sepanjang zamannya.
Sebagai gerakan dakwah keagamaan, IMM seharusnya tidak hanya sekedar kembali
pada romantisme sejarahnya, melainkan tradisi gerakan dakwah amar ma'ruf nahi
mungkar itu harus mampu mereposisi peran kader-kader IMM dalam berbagai
aktifitas keagamaan.
3. Humanitas.
Gerakan sosial bukan lagi dibangun dalam bentuk gerakan
protes atau aksi massa. Melainkan harus lebih mengambil simpati rakyat bukan
antipati. Gerakan sosial harus berbaur dengan nilai-nilai kemanusiaan yang
lebih universal sehingga gerakan lebih mengarah pada solidaritas sosial yang
menyatu dengan public. Oleh karena itu, kader-kader IMM, tanpa terkecuali
immawati dituntut untuk lebih peka dalam mengatasi masalah-masalah real yang
dialami rakyat sebagai korban. Langkah selanjutnya adalalah melakukan
transformasi sosial melalui jalur advokasi dan perlawanan terhadap kebijakan
publik yang dianggap merugikan rakyat. Immawatipun sudah seharusnya mengambil
peran yang demikian untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang tergadai karena
keadaan bangsa dan Negara.
0 comments:
Post a comment