Foto : Google victim
Oleh: Ermansyah R. Hindi
Sebelum
konsumsi mencapai puncak kejayaannya, segalanya adalah produksi. Segalanya
adalah mesin. Berkembangnya jumlah produksi pada abad ke-19 meminta tiga
korban: alam, tanah jajahan, dan kelas pekerja (seringkali pula penganggur atau
kaum pinggiran) di negeri kita. Tetapi, sekarang memakan empat korban:
(i) alam; (ii) privatisasi; (iii) masyarakat konsumen-citra/fantasi media; dan
(iv) tenaga kerja. Di negara-negara kaya-industri maju, dimana standar hidup
sebagian besar masyarakat telah cukup tinggi, pada saat ini tinggal dua korban:
(i) alam; dan (ii) Dunia Ketiga, yang sekarang masih dan sedang dalam proses
penjajahan ekonomi-di bawah bayang-bayang sistem ekonomi kapitalisme global.
Sebagai sebuah sistem (tanda, kode), kapitalisme bersumber pada energinya
sendiri, bukan pada kekuatan buruh, secara fisik (sistem itu tidaklah
terisolasi). Sebagai figur, kapitalisme mendapatkan kekuatannya dari gagasan
dan hasrat ketidakterhinggaan. Ia bisa muncul dalam kehidupan, kekuasaan dan
kesenangan yang sekarang sebagai model yang ditiru oleh Dunia Ketiga.
Korban
berjatuhan, karena di sini kelinglungan datang dari jalannya sejarah itu
sendiri. Jean Francois Lyotard (The Posmodern Condition: A Report on Knowledge,
Univetsity of Minnesota Press, Minneapolis, 1984) telah mengumandangkan
pudarnya semua narasi besar (Kapitalisme dan Sosialisme sama saja). Untuk
alasan inilah kelas pekerja telah menjadi manusia seperti lainnya dikontrol
oleh kekuasaan bersama oligarki politik-ekonomi dan diinternalisasikan bukan
hanya korban citra, tetapi lebih mentransformasikan dirinya sendiri kedalam
citra dengan produksi yang melimpah-ruah. Perjuangan buruh melawan pemilik
perusahaan telah diredusir menjadi perjuangan simbolik untuk memperoleh
pekerjaan dan upah serta kondisi kerja yang lebih baik. Sistem seperti itu
tidak dipertanyakan lagi: ketergantungan fundamental para pekerja terhadap
modal, sungguh memperkuat dominasi modal pada para pekerja. Kini, relasi kaum
pekerja-produser telah dideteritorialkan berdasarkan: (i) privatisasi tanah;
(ii) penciptaan instrumen produksi; (iii) hilangnya makna konsumsi melalui
pemutusan ikatan keluarga dan perusahaan; dan (iv) pembelas-kasihan kerja
dirinya sendiri melebihi pekerja. Langkah berikut dalam proses
"kemajuan" di sepanjang jalan "produktivisme" akan mirip
dengan kemajuan penduduk pasca Perang Dingin (terutama eks Eropa Timur, Rusia
dan bahkan RRC) dan Dunia Ketiga terutama melalui barang komoditas. Tetapi,
alam, bagaimanapun juga tidak akan dapat bertahan hidup. Kenyataannya, alam
tidak akan bisa bertahan dengan beban yang ditimpakan di atasnya oleh
negara-negara kaya-industri kapitalis maju dan negara-negara industri baru.
Tampaknya terjadi bahwa perusahaan besar dan multinasional sedang mempelopori
perubahan arus bunga utang masa kini dari Selatan (termasuk Indonesia) ke
Utara. Produksi memerlukan penjualan-pemasaran dan karena itu juga memerlukan
daya beli sebagaimana telah kita ketahui.
Kita
segera mengharapkan permohonan Kelompok Hijau dan para "Pembela Dunia
Ketiga" untuk lebih banyak bantuan dari Utara ke Selatan (baik secara suka
rela maupun yang dipaksakan) melalui perdagangan dan "pinjaman-utang luar
negeri" sekaligus memperpanjang perangkap korban Dunia Ketiga darinya.
Yang pasti, bahwa kemiskinan menemukan dirinya sendiri yang diproduksi oleh dua
hal: (i) eksploitasi; dan (ii) marjinalisasi atau ketergantungan. Poros
Timur-Barat di lain sisi, harus juga diakui bahwa kontradiksi mendasar sedang
terjadi melalui mode produksi kapitalis yang terintegrasi saat ini pada skala
dunia disalurkan secara simbolik antara Utara dan Selatan. Dunia Ketiga masih
berada sebagai "korban permanen" karena "korban imajinasi
revolusioner" terlalu lambat datang padanya melalui masyarakat konsumen
yang semakin memparah kemiskinan dan ketergantungannya pada kekuatan
Kapitalisme Dunia yang Terintegrasi (kemiripan pada kecenderungan Pemerintah
Pusat dan Daerah). Bayangkan apa yang bakal kita perjuangkan disini sebagai
korban apabila "kue nasional" tidak bisa diperbesar lagi atau bahkan
harus diperkecil.
Tulisan ini hasil plagiasi dari buku Revolusi Ekonomi-nya Willem Hoogendijk terbitan yayasan Obor terbitan 1996. Buka saja di link ini: https://books.google.co.id/books?id=57U6dn_4fi0C&pg=PA46&lpg=PA46&dq=Kelompok+Hijau+dan+para+%22Pembela+Dunia+Ketiga%22+untuk+lebih+banyak+bantuan+dari+Utara+ke+Selatan&source=bl&ots=xE69Rjg7aK&sig=ACfU3U3RgR8Em-7okivfXjGgkYRBhTl67w&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwiF6KenxJ3pAhUESX0KHSBSCxwQ6AEwAHoECAQQAQ#v=onepage&q=Kelompok%20Hijau%20dan%20para%20%22Pembela%20Dunia%20Ketiga%22%20untuk%20lebih%20banyak%20bantuan%20dari%20Utara%20ke%20Selatan&f=false
ReplyDelete