Salah seorang kakak senior yang pernah menahkodai sebuah
lembaga kampus di Fakultas kami, berbagi pelajaran berharga tentang
kepemimpinan. Secara pribadi penulis mendapatkan banyak ilmu darinya. Ia sangat
sering menasehati terutama terkait bagaimana seorang pemimpin melakukan
pengorbanan. Ada banyak hal yang ternyata harus dikorbankan oleh seorang pemimpin
yaitu:
1. Waktu
Tak
dapat dipungkiri bahwa persepsi mengenai waktu yang amat berharga, bagi setiap
orang pasti berbeda. Ada yang mengatakan "waktu adalah uang", ada
juga yang mengatakan "waktu adalah ilmu" atau "waktu adalah
pedang" dan lain-lain. Apapun namanya, bagi seorang pemimpin, waktu adalah
salah satu bentuk pengorbanan. Jika seseorang telah diamanahkan untuk memimpin
sebuah lembaga dan semacamnya, maka seluruh waktunya harus tersita untuk
lembaga atau orang-orang yang dipimpinnya. Bahkan 24 jam aktivitas yang
digeluti harus berpacu dengan waktu. Prioritas utama untuk menjaga stabilitas
lembaga, bukan yang lainnya. Bahkan untuk urusan pribadi sekalipun. Waktu
berkumpul dengan keluarga atau sahabat, mungkin akan berkurang. Tapi, inilah
konsekwensi yang harus diterima dan dijalani. Seorang pemimpin harus memiliki
kemampuan untuk mengatur waktu dengan baik, dengan mendahulukan urusan yang penting
dan mendesak untuk dilaksanakan terlebih dahulu.
2. Tenaga
Yah,
menjadi pemimpin memang tidak mudah, bahkan cenderung melelahkan. 100% tenaga
yang dimilikinya akan terkuras dengan sendirinya. Amanah kepemimpinan akan
selalu menuntut si pemimpin agar mampu membuat terobosan baru, berupa program
kegiatan untuk mencapai visi-misi dan tujuan lembaganya. Oleh karena itu,
seluruh tenaga si pemimpin harus dikerahkan untuk melakukan manajemen yang baik
demi lembaga yang dipimpinnya. Beruntung jika di lembaga yang dipimpin itu, memiliki
banyak anggota yang dapat digerakkan. Nah, bagaimana dengan lembaga yang baru terbentuk
atau lembaga yang baru belajar merangkak? Tentunya si pemimpin akan bekerja 2
kali lipat lebih keras ketimbang lembaga yang telah mampu berdiri sendiri dan
memiliki anggota yang banyak. Belum lagi ketika si pemimpin dihadapkan pada
anggota yang cuek dan tak mau diatur, bahkan tidak mau bekerja. Pasti si
pemimpin akan terjun langsung mengerjakan pekerjaan anggotanya. Inilah
tantangan menjadi seorang pemimpin. Akan tetapi, apapun bentuk pekerjaan yang
membutuhkan tenaga banyak, pepatah "berat sama dipikul, ringan sama
dijinjing" harus diutamakan untuk lebih menghemat tenaga yang dimiliki.
Membudayakan gotong royong dan kebersamaan itu penting.
3. Pikiran
Pemimpin
yang cerdas akan menghasilkan ide-ide cerdas untuk kepemimpinannya. Inilah
salah satu tantangan terbesar jika menjadi pemimpin. Seorang pemimpin harus
mengerahkan setiap ide dan pikiran kreatifnya untuk kemaslahatan lembaga dan
orang-orang yang dipimpinnya. Bukan hanya itu saja, dalam sebuah lembaga tentu
setiap anggota memiliki sifat dan karakter yang berbeda-beda. Bahkan kerap kali
benturan pemikiran dan perbedaan persepsi terjadi dalam perjalanan
kepemimpinan. Nah, seorang pemimpin harus mampu mengenali karakter orang-orang
yang dipimpinnya, ia juga harus pandai dan jeli menyiasati orang-orang seperti
ini, meskipun harus menguras pikiran. Menjadi pemimpin tidak boleh hanya
memikirkan diri sendiri tapi harus lebih mengutamakan kepentingan orang-orang
yang dipimpinnya. Dalam sebuah lembaga, ide si pemimpin adalah ujung tombak
dalam perjalanan lembaga, sekaligus sebagai acuan dalam menjalankan roda
kepemimpinan dengan baik. Terutama dalam pengambilan keputusan. Pemimpin harus
mampu berfikir secara bijak dalam menentukan kebijakan yang akan dijalankan
oleh para anggota ke depannya.
4. Perasaan
Berbicara
perasaan mungkin akan sedikit sensitif dibanding pengorbanan lainnya. Seorang
pemimpin tidak boleh terhanyut oleh perasaannya. Konflik dalam lembaga, adalah
hal biasa. Konflik adalah bunga atau pemanis dalam lembaga yang merupakan
bagian dari dinamika kehidupan. Konflik terkadang menimbulkan ketersinggungan
bahhkan memunculkan emosi dan amarah, antar sesama anggota lembaga. Hal inipun
kerap kali terjadi diantara pemimpin dan anggota. Seorang pemimpin harus mampu
menahan amarah dan menekan perasaannya meskipun ia sendiri harus merasakan
perih dalam hati. Konsekwensi inilah yang paling sulit untu dijalani oleh
seorang pemimpin. Pemimpin harus selalu terlihat tersenyum dan baik-baik saja
di hadapan para anggotanya meskipun dalam hatinya tersembunyi sebuah kesakitan.
Semua pengorbanan ini tentu harus dilakukan untuk menjaga kelancaran lembaga
yang dipimpinnya.
Menjadi
pemimpin sungguh membutuhkan pengorbanan yang luar biasa. Waktu yang seharusnya
diluangkan untuk keluarga dan teman, justru diinfakkan untuk menjalankan amanah
kepemimpinan. Pemimpin rela berlelah-lelah meski tenaga habis terkuras untuk
orang lain. Bahkan waktu istirahatnyapun rela ia sisihkan demi lembaga dan
orang-orang yang dipimpinnya.
5. Materi
Perjalanan organisasi
terkadang tak semulus yang diharapkan. Masalah utama yang tak kalah penting
adalah materi/pendanaan. Beruntung jika lembaga yang dipimpin memiliki anggaran
dari kampus atau pemerintah setempat. Jika ada bantuan seperti itu, lembaga
yang bersangkutan mungkin tidak akan kewalahan jika ingin melaksanakan
kegiatan. Nah, bagaimana jika tidak ada?
Untuk merealisasikan program kerja lembaga pasti membutuhkan
anggaran. Seorang pemimpin otomatis akan mengerahkan tenaga dan fikirannya
untuk mengumpulkan anggaran sebanyak-banyaknya, agar program kerja dapat
terlaksana tanpa kekurangan apapun. Salah satu hal yang menjadi kendala
meskipun ide kreatif sudah dijalankan secara halal, terkadang anggaran yang
dikumpulkan ternyata tak mencukupi hingga kegiatan selesai, sehingga solusinya
adalah sumbangsi materi dari para anggota lembaga terutama pemimpinnya. Pun
jika semua materinya dibutuhkan demi menutupi kekurangan yang ada, seorang
pemimpin harus siap mengorbankan semua itu. Menjadi pemimpin memang rumit.
Meski materi bukanlah penentu kesuksesan sebuah lembaga, akan tetapi materi
merupakan salah satu pendukung utama. Janganlah mencari materi atau penghidupan
di lembaga akan tetapi hidupilah lembaga itu. Seorang pemimpin harus mampu
menghidupi lembaganya, bukan untuk mencari penghidupan di dalamnya.
Itulah pengorbanan seorang pemimpin, fikiran yang seharusnya
ia gunakan untuk memikirkan dirinya sendiri justru diluangkan untuk memikirkan
kemaslahatan orang lain sementara dirinya sendiri tak terurus. Padahal orang
lain saja belum tentu memikirkannya. Beribu kekecewaan, sakit hati, rela ia
pendam dan tak seorangpun yang mengetahui. Semua itu dilakukan agar orang-orang
dipimpin merasa nyaman berada di bawah kepemimpinannya. Cobaan dan tantangan
yang datang silih berganti dalam sebuah kepemimpinan adalah ujian. Pengorbanan
dengan harta, jiwa dan raga yang dilakukan oleh seorang pemimpin harus diyakini
akan mendapat balasan yang setimpal dari Sang Pencipta jika dilakukan dengan
tulus dan ikhlas. Apapun bentuk pengorbanannya, maka jangan patah semangat untuk
menjadi pemimpin karena memimpin adalah wadah yang efektif untuk menjalankan
lembaga secara penuh.
Perjalanan panjang setiap organisasi dari hari ke hari, tentu tak semulus yang terbayangkan
dalam benak kita. Ibarat perjalanan, akan ada tanjakan, turunan, tikungan,
jalan terjal yang berbatu dan berlubang. Tak jarang kecelakaanpun terjadi.
Itulah lembaga.
Dinamika dan tantangan dari zaman ke zaman tentu akan
berbeda. Indah hari ini, belum tentu indah esok hari. Sebaliknya, buruk hari
ini, belum tentu buruk esok hari. Perbedaan pendapat,
karakter/watak/sifat orang-orang yang bergelut dalam sebuah lembaga tak jarang
mengakibatkan konflik internal. Sehingga menimbulkan masalah dan mengganggu
stabilitas lembaga. Ditambah lagi dengan adanya dinamika konflik eksternal yang
juga membutuhkan solusi.
Tak perlu khawatir…Konflik dalam sebuah lembaga dapat
berpeluang menimbulkan dampak positif dan negatif. Konflik merupakan proses
pendewasaan. Akan tetapi, jika konflik dibiarkan berlarut-larut tanpa adanya
upaya penyelesaian, maka konflik tersebut akan mengganggu perjalanan lembaga.
Bahkan dapat berakibat fatal. Bisa saja masalah yang notabenenya amat kecil
dapat semakin meluas dan mengganggu hubungan antar pengurus lembaga.
Sebagai hikmah, konflik juga dapat kita petik nilai
positifnya. Untuk seseorang yang mampu menganalisa masalah yang sedang dihadapi
secara dewasa, akan membantu menguatkan mental para pengurus lembaga yang
bergelut di dalamnya. Konflik mampu mendewasakan kita, baik dalam berfikir,
bertindak dan bertanggungjawab. Tak perlu ada ketakutan, sebab ketakutan
bukanlah solusi. Justru semakin menambah masalah.
Teori konflik Dalf Dahrendolf, mengatakan bahwa
"konflik akan berakhir jika manusia sudah tak ada lagi." Secara
pribadi penulis sepakat jika hal ini hanya sebatas di kehidupan dunia saja.
Selama manusia masih hidup, ia akan terus bermasalah. Mau tidak mau, suka tidak
suka. Hidup adalah sebuah masalah yang harus dijalani. Cara menghadapinya,
tergantung upaya kita masing-masing. Dalam konteks kepemimpinan, lembaga
apapun itu tak pernah jauh dari konflik atau masalah baik internal maupun
eksternal. Ketahanan mental maupun fisik seorang pemimpin tentu akan
mempengaruhi penyelesaian masalah terutama dalam menempatan strategi yang
tepat. Terkadang, ada juga pemimpin yang ketika menghadapi masalah selalu
terlihat uring-uringan, seolah-olah tak ada jalan keluar. Bahkan ada yang
menghadapinya dengan masa bodoh.
Nah, kategori pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu
menjadi problem solving maker dalam
berbagai masalah yang bermuara di lembaga yang dipimpinnya. Pemimpin haruslah
menjadi icon sekaligus patron gerakan
dalam lembaga, terutama dalam pengambilan keputusan dan problem solving. Terkadang, demi sebuah perubahan, konflik
amat dibutuhkan. Bahkan keberadaannya dapat membesarkan lembaga. Tergantung
manajemen si pemimpin dalam mengolah konflik yang ada. Manajemen yang baik akan
menjadikan konflik bukan sebagai momok yang menakutkan. Justru akan membuahkan
outpun yang manis dalam berlembaga.
Lembaga yang berjalan mulus dan aman-aman saja, bagi
sebagian orang mungkin akan membosankan karena tak berdinamika. Aura negatif
konflik harus mampu didesain sedemikian rupa agar dapat menjadi stimulus
positif bagi lembaga. Kuncinya, tergantung si pemimpin sebagai problem solving maker yang bijak.
"Cengeng", sebuah istilah yang amat pas bagi “si
penakut” atau “si manja”. Istilah inipun cukup identik dengan kata
"mengeluh". Sedikit ujian dan sentilan, maka yang tersirat adalah keluhan,
bahkan tangisan. Ditambah lagi "manja", yakni julukan yang sangat
cocok untuk seseorang yang selalu bergantung kepada orang lain, padahal ia
dapat mengerjakannya sendiri tanpa perlu bantuan orang lain.
Kedua kata ini, memiliki kemiripan, tapi berbeda makna. Nah,
untuk seorang pemimpin, sebaiknya tidak boleh memiliki sifat yang demikian.
Alangkah lebih baiknya jika sifat cengeng dan manja ini disingkirkan, atau
dikubur sedalam mungkin, bahkan di delete
dalam kamus kehidupan. Pemimpin yang baik adalah sosok yang tak kenal lelah
memperjuangkan kemaslahatan rakyatnya. Pantang menyerah, meskipun tantangan
yang dihadapinya amat berat. Selain itu, pantangan untuk seorang pemimpin
dihadapan bawahannya adalah tak boleh mengeluh apalagi berperilaku manja.
Pemimpin harus memiliki mental yang kuat lahir maupun batin, tahan banting dan
tangguh.
Tangguh merupakan kata yang tepat untuk menggambarkan potret
pemimpin yang memiliki semangat pantang menyerah, seberat apapun beban ujian
yang dihadapi dalam kepemimpinannya. Tak dapat dipungkiri, tantangan dalam
sebuah lembaga tentu bukanlah hal main-main. Bahkan sangat menguras tenaga dan fikiran.
Bukannya tak boleh meneteskan airmata, hanya saja dalam menghadapi proses
kepemimpinan, seorang pemimpin harus tetap terlihat tegar meskipun ternyata
hatinya rapuh. Tidak boleh cengeng dan manja. Apalagi ketika mengalami
kegagalan.
Kegagalan dalam sebuah lembaga bukanlah hal yang mustahil
dan dapat ditemui dalam beberapa aspek, terutama kegagalan setelah melakukan
perencanaan yang matang. Terkadang hasil tak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Akan tetapi, dalam kondisi apapun, hikmah dari sebuah kegagalan harus mampu
dipetik agar si pemimpin menjadi pribadi yang semakin tangguh. Gagal bukanlah
batu sandungan. Akan tetapi, ia merupakan batu loncatan untuk meraih suksesi
kepemimpinan di masa yang akan datang.
Terdapat perbedaan antara pemimpin yang cengeng dengan
pemimpin yang tangguh jika diperhadapkan pada sebuah kegagalan. Jika gagal,
pemimpin yang cengeng akan berkata "aku gagal, tak ada kesempatan lagi.
Lebih baik aku mengakhirinya," sementara untuk pemimpin yang tangguh akan
tetap optimis dan berkata "gagal bukan masalah. Aku akan mencobanya
lagi." Kebangkitan setelah kegagalan adalah wujud ketangguhan si pemimpin
dalam mengawal lembaga yang dipimpinnya. Mental seorang pemimpin adalah
mental tangguh, bukan mental cengeng nan manja, apalagi seorang penakut.
Rindu adalah sebuah bentuk kegelisahan batin yang tak dapat
terlihat dan hanya bisa dirasakan oleh orang yang mengalaminya. Obatnya cukup
sederhana, pertemuan. Jika seorang pemimpin ingin menjadi sosok yang selalu
dirindukan, maka terlebih dahulu ia harus mengupayakan agar selalu disenangi
oleh anggotanya. Dan untuk disenangi banyak orang tentu tergantung pada pola
komunikasi dan pendekatan persuasif si pemimpin terhadap bawahannya. Bagaimana
bisa ia dirindukan, sementara bawahannya tidak menyenanginya?
Terdapat 2 kemungkinan, jika seseorang telah dinobatkan
sebagai pemimpin, maka ia akan disenangi atau dibenci. Begitulah pemimpin.
Persepsi orang terhadapnya akan berbeda-beda. Tidak semua orang yang
dipimpinnya mau menerima karakter dan kekurangan si pemimpin. Alasannya karena
tuntutan untuk tampil perfect dan berwibawa kapan dan di manapun ia berada.
Manusia bukanlah mahluk sempurna dan pasti memiliki
kekurangan. Menjadi pemimpin akan membuahkan banyak tuntutan, akan tetapi bukan
berarti si pemimpin harus menjadi orang lain juga. Sehingga kata “be your self” sekejab mengilang dalam
dirinya. Realita dalam sebuah kepemimpinan yang pernah penulis temui adalah bahwa
hanya untuk menjaga image sebagai seorang pemimpin di hadapan bawahannya,
sampai-sampai ia harus menjadi orang lain. Padahal untuk menjadi pemimpin yang
selalu dirindukan, cukuplah menjadi diri sendiri. Seorang pemimpin hanya perlu
menjelaskan melalui perilakunya, bahwa ia memang sosok yang pantas diterima apa
adanya dan selalu dirindukan.
Pemimpin yang baik adalah dia yang memiliki kedekatan
emosional dengan bawahannya. Dia yang selalu terbuka mengulurkan tangannya demi
membantu meringankan beban orang lain. Kedekatan emosional amat dibutuhkan
untuk menciptakan ikatan persaudaraan yang erat antara pemimpin dan bawahannya.
Jika telah saling mengenal dan memahami satu sama lain, perlahan rasa
kebersamaan itu akan terjalin. Menciptakan kebersamaan adalah penting, jika
semangat itu telah menyatu dengan jiwa maka ketidakhadiran salah satu diantara
mereka akan menghasilkan rindu, keharmonisan dalam berlembaga perlahan akan
terwujud. Untuk menciptakan keharmonisan itu, si pemimpin tidak boleh membuat
dinding yang dapat menjauhkan jarak antara dirinya dan bawahannya. Sekat itu
harus diruntuhkan dalam sebuah kepemimpinan.
Yakin dan percaya, jika hal ini diaplikasikan dalam
kepemimpinan, maka mereka akan saling merindukan satu sama lain jika tak saling
bertemu. Si pemimpin rindu pada bawahannya dan bawahan rindu pada pemimpinnya.
Satu orang saja yang sakit diantara mereka, maka semua akan merasakan sakit.
Satu orang saja yang bahagia diantara mereka, maka semua akan merasakan
bahagia. Kuncinya sangatlah sederhana. Rasa kebersamaan, persaudaraan dan
solidaritas yang dimiliki seorang pemimpin akan menghantarkannya menjadi sosok
yang selalu dirindukan.
Sangat jarang kita menemukan sosok pemimpin yang demikian.
Bahkan terkadang, dalam sebuah lembaga, bawahan akan merasa bebas merdeka jika
pemimpinnya tidak ada. Jika hal ini terjadi, si pemimpin harus introspeksi
diri. Sebaliknya, jika dalam sehari saja si pemimpin tak bertemu dengan
bawahan, lantas ia dicari-cari, ditanyai keberadaannya, bawahan merasa gelisah
jika ia tak ada, ini merupakan salah satu indikator bahwa si pemimpin telah
sukses menjadi sosok yang selalu dirindukan. Jika tidak, silahkan introspeksi
diri, mengapa demikian.
Salah
satu modal utama untuk menjadi pemimpin adalah harus pandai beretorika, juga
harus mampu menjadi pendengar yang baik. Terutama untuk para
anggota/bawahannya. Anggota adalah penggerak dalam lembaga. Jika mereka sedang
ditimpa musibah atau patah semangat, pasti akan mempengaruhi kinerja mereka
dalam lembaga. Yang awalnya rajin, tiba-tiba menjadi malas, ada juga yang
bawaannya murung atau uring-uringan.
Seorang
pemimpin harus mampu mencerna dan mendeteksi keadaan para anggotanya. Ada apa
dengan mereka? Jika seperti itu, artinya mereka bisa saja sedang memiliki
masalah yang rumit, baik masalah dengan keluarga, sahabat atau bahkan masalah
sesama pengurus lembaga. Di tengah persoalan yang seperti ini, pemimpin harus
selalu menghadirkan dirinya dan memberikan solusi cerdas atas masalah yang
dihadapi para anggotanya. Sekaligus membangun kembali semangat diantara
mereka.
Oleh
karena itu, seorang pemimpin tentu tidak boleh patah semangat. Jika semangat si
pemimpin melemah, maka otomatis akan berdampak pada bawahannya. Nah, jika
bawahannya yang kurang bersemangat dalam menjalankan amanah, seorang pemimpin
harus mampu menjadi motivator yang baik dengan memberikan saran maupun
motivasi-motivasi yang bersifat membangun.
Pemimpin
yang baik harus selalu menebarkan benih-benih cinta dan semangat juang untuk
bawahannya. Salah satu jalan yang bisa tempuh yakni dengan menjadi pendengar
yang baik terlebih dahulu. Jika seorang pemimpin telah mampu melakukan itu,
perlahan pastinya setiap untaian kata yang terlontar sebagai kalimat motivasi
akan mampu merasuki jiwa dan membangkitkan semangat bawahannya kembali.
Menjadi
pemimpin tidak boleh egois. Hanya dia yang harus didengarkan dan tidak mau
mendengarkan keluh kesah orang lain. Pemimpin harus peka melihat berbagai
persoalan pribadi bawahannya. Jika dianggap terlalu ikut campur, yah memang seharusnya
seperti itu. Pemimpin harus menjadi teman terbaik bagi orang-orang yang
dipimpinnya agar mereka tidak kehilangan semangat atau merasa down dalam berlembaga.
Menjadi
motivator yang baik, adalah bentuk kepedulian seorang pemimpin terhadap
bawahannya. Pun jika tak ada solusi yang mampu diberikannya, minimal dengan
menjadi pendengar yang baik, para anggota bisa merasakan eratnya hubungan
emosional yang terjalin diantara mereka. Meskipun hanya bermodalkan kata-kata,
dengan menjadi motivator, seorang pemimpin akan lebih dihargai.
0 comments:
Post a comment